Kupacu sepeda motorku
Jarum jam tak mau menunggu maklum rindu
Traffic light aku lewati
Lampu merah tak perduli jalan terus ...
(Iwan Fals - Kereta Tiba Pukul Berapa)
Aku menarik tuas gas sepeda motor GL Pro tua ku melewati persimpangan demi persimpangan, sepeda motor ku pun meraung keras dengan kecepatan tinggi. Panas mesin pun terasa sangat menyengat, maklum lah motor tua. Mendadak kesialan itu terjadi pada saat traffic light di persimpangan jalan Juanda - Sisingamangaraja berubah merah. Aku bukannya melanggar lampu merah seperti yang dilakukan bang Iwan di lagu di atas, apalagi sampai kena tilang. Lha? jadi aku sial kenapa?. Sepeda motor ku mogok dan tidak mau hidup karena kepanasan. Hingga penuh keringat aku mencoba mengengkol sepeda motor ku, tetap gak mau hidup. Lampu diseberang jalan yang tadinya merah pun berubah hijau. Dengan masih terengah terpaksa ku dorong sepeda motorku ke seberang.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, ada warung di pinggir jalan. Aku pun singgah sebentar untuk beristirahat sambil mendinginkan mesin sepeda motorku. Dengan penuh rasa bosan kuperhatikan lalu lalang anak-anak punk yang sibuk mengamen mengharapkan recehan dari mobil-mobil mewah yang berhenti karena lampu merah. Kutatap setiap kendaraan mewah yang lewat di depan warung tempat aku duduk. Kendaraan-kendaraan mewah yang di tunggangi orang-orang bersetelan necis memaki becak-becak tua lamban yang menghalangi jalan mobil mereka. Sungguh, kepongahan mereka itu membuat aku muak seketika. Dengan penuh rasa muak aku meludah sambil tersenyum sinis. "Sial*n, mereka pikir jalan ini jalan mereka ya? mentang-mentang kaya", umpatku dalam hati. Dan hal itu pun terjadi ....
Seketika air wajahku berubah melihat pemandangan yang bagiku sangat menarik perhatian itu. Kulihat seorang kakek tua setengah bungkuk yang sedang kebingungan karena kesulitan menyeberangi jalanan yang ramai. Orang-orang kaya pongah (yang membuatku muak) itu pun tak henti-hentinya membunyikan klakson mobil mereka yang mewah. Sungguh, mereka itu ga punya perasaan ya?. Tapi kekesalan ku pun berubah menjadi senyum bangga melihat seorang anak punk berambut gondong dan berpakaian dekil berlari dan meraih tangan si kakek. Si anak punk menyeberangkan si kakek dan dengan tersenyum ia berkata "Hati-hati ya kek". Takjub aku melihat pemandangan itu. Bagaimana tidak, mereka yang selama ini kukutuk karena jijik melihat tampang mereka yang mereka buat sedemikian mengerikannya malah berbuat semulia itu yang aku sendiri pun tidak melakukannya.
Aku malu, selama ini aku menganggap mereka itu sampah masyarakat yang membuak semak kota Medan ini saja. Tapi lihat sekarang, aku yang berpendidikan (katanya), aku yang lebih bersih dan rapi, lebih necis dan berwibawa daripada mereka (katanya) hanya bisa berpangku tangan melihat orang lain kesulitan. Sementara mereka yang sampah (katanya), mereka yang tak berguna (katanya) malah lebih mulia dan malah lebih berperasaan daripada aku dan mereka yang bermobil.
Termenung aku, dalam anganku berkecamuk berbagai macam perasaan dan pikiran. Aku merenung, memang benar ternyata, kita tak boleh menilai seseorang itu dari penampilan luarnya saja. Aku mengutuk diriku sendiri yang selama ini ternyata sangat pongah, sangat angkuh , berani menghakimi orang lain layaknya tuhan saja. Apakah aku pernah berpikir, apa yang membuat mereka jadi anak PUNK yang menjijikkan (katanya) seperti itu?. mereka tentu punya alasan tersendiri. Bisa jadi mereka itu sebenarnya orang yang mampu, tapi tak memiliki arti kehidupan di rumah mereka sendiri. Bisa jadi mereka itu orang yang tak mendapat kasih sayang di rumah, sehingga mereka mencarinya di jalanan. Bisa jadi mereka itu orang yang memang tidak memiliki rumah di kota ini dan menderita di kaki-kaki orang-orang kaya yang tidak peduli.
Tidak, aku tak memikirkan hal itu. Aku terlalu egois untuk bisa mengerti orang lain. Aku terlalu angkuh untuk bisa mengerti apa yang mereka rasakan. Untuk itulah aku malu, untuk itu lah aku merasa bersalah sudah menganggap remeh dan berpikiran buruk tentang mereka yang ternyata hatinya lebih mulia dari pada aku. Dan agar rasa malu dan bersalah ku ini bisa bermanfaat untuk orang lain, maka aku menyempatkan menulis pengalaman di perjalananku pulang kuliah ini.
Teman-teman ku semuanya, apa yang selama ini kita pikirkan bukanlah berarti sebuah kebenaran. Aku ingat temanku pernah berkata menasihatiku, "Kita tidak seharusnya memikirkan sesuatu yang kita ingin pikirkan, tapi kita seharusnya memikirkan kenyataan. Karena apa yang kita inginkan menjadi pikiran kita itu bukanlah hal yang sudah pasti kebenarannya" - Farhan Luthfi. Apa yang Farhan katakan itu benar, seharusnya kita selalu berfikiran positif terhadap apapun yang terjadi kepada kita. Hanya saja kita (lebih-lebih aku) terlalu naif untuk mengakuinya.
Tulisan ini adalah pengalamanku, yang apabila ada manfaatnya silakan teman-teman ambil dan apabila lebih banyak pengaruh negatifnya bisa teman-teman abaikan. Semoga apa yang kutulis ini bisa menyentuh hati orang yang membacanya... Amiiin :)
Jarum jam tak mau menunggu maklum rindu
Traffic light aku lewati
Lampu merah tak perduli jalan terus ...
(Iwan Fals - Kereta Tiba Pukul Berapa)
Aku menarik tuas gas sepeda motor GL Pro tua ku melewati persimpangan demi persimpangan, sepeda motor ku pun meraung keras dengan kecepatan tinggi. Panas mesin pun terasa sangat menyengat, maklum lah motor tua. Mendadak kesialan itu terjadi pada saat traffic light di persimpangan jalan Juanda - Sisingamangaraja berubah merah. Aku bukannya melanggar lampu merah seperti yang dilakukan bang Iwan di lagu di atas, apalagi sampai kena tilang. Lha? jadi aku sial kenapa?. Sepeda motor ku mogok dan tidak mau hidup karena kepanasan. Hingga penuh keringat aku mencoba mengengkol sepeda motor ku, tetap gak mau hidup. Lampu diseberang jalan yang tadinya merah pun berubah hijau. Dengan masih terengah terpaksa ku dorong sepeda motorku ke seberang.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, ada warung di pinggir jalan. Aku pun singgah sebentar untuk beristirahat sambil mendinginkan mesin sepeda motorku. Dengan penuh rasa bosan kuperhatikan lalu lalang anak-anak punk yang sibuk mengamen mengharapkan recehan dari mobil-mobil mewah yang berhenti karena lampu merah. Kutatap setiap kendaraan mewah yang lewat di depan warung tempat aku duduk. Kendaraan-kendaraan mewah yang di tunggangi orang-orang bersetelan necis memaki becak-becak tua lamban yang menghalangi jalan mobil mereka. Sungguh, kepongahan mereka itu membuat aku muak seketika. Dengan penuh rasa muak aku meludah sambil tersenyum sinis. "Sial*n, mereka pikir jalan ini jalan mereka ya? mentang-mentang kaya", umpatku dalam hati. Dan hal itu pun terjadi ....
Seketika air wajahku berubah melihat pemandangan yang bagiku sangat menarik perhatian itu. Kulihat seorang kakek tua setengah bungkuk yang sedang kebingungan karena kesulitan menyeberangi jalanan yang ramai. Orang-orang kaya pongah (yang membuatku muak) itu pun tak henti-hentinya membunyikan klakson mobil mereka yang mewah. Sungguh, mereka itu ga punya perasaan ya?. Tapi kekesalan ku pun berubah menjadi senyum bangga melihat seorang anak punk berambut gondong dan berpakaian dekil berlari dan meraih tangan si kakek. Si anak punk menyeberangkan si kakek dan dengan tersenyum ia berkata "Hati-hati ya kek". Takjub aku melihat pemandangan itu. Bagaimana tidak, mereka yang selama ini kukutuk karena jijik melihat tampang mereka yang mereka buat sedemikian mengerikannya malah berbuat semulia itu yang aku sendiri pun tidak melakukannya.
Aku malu, selama ini aku menganggap mereka itu sampah masyarakat yang membuak semak kota Medan ini saja. Tapi lihat sekarang, aku yang berpendidikan (katanya), aku yang lebih bersih dan rapi, lebih necis dan berwibawa daripada mereka (katanya) hanya bisa berpangku tangan melihat orang lain kesulitan. Sementara mereka yang sampah (katanya), mereka yang tak berguna (katanya) malah lebih mulia dan malah lebih berperasaan daripada aku dan mereka yang bermobil.
Termenung aku, dalam anganku berkecamuk berbagai macam perasaan dan pikiran. Aku merenung, memang benar ternyata, kita tak boleh menilai seseorang itu dari penampilan luarnya saja. Aku mengutuk diriku sendiri yang selama ini ternyata sangat pongah, sangat angkuh , berani menghakimi orang lain layaknya tuhan saja. Apakah aku pernah berpikir, apa yang membuat mereka jadi anak PUNK yang menjijikkan (katanya) seperti itu?. mereka tentu punya alasan tersendiri. Bisa jadi mereka itu sebenarnya orang yang mampu, tapi tak memiliki arti kehidupan di rumah mereka sendiri. Bisa jadi mereka itu orang yang tak mendapat kasih sayang di rumah, sehingga mereka mencarinya di jalanan. Bisa jadi mereka itu orang yang memang tidak memiliki rumah di kota ini dan menderita di kaki-kaki orang-orang kaya yang tidak peduli.
Tidak, aku tak memikirkan hal itu. Aku terlalu egois untuk bisa mengerti orang lain. Aku terlalu angkuh untuk bisa mengerti apa yang mereka rasakan. Untuk itulah aku malu, untuk itu lah aku merasa bersalah sudah menganggap remeh dan berpikiran buruk tentang mereka yang ternyata hatinya lebih mulia dari pada aku. Dan agar rasa malu dan bersalah ku ini bisa bermanfaat untuk orang lain, maka aku menyempatkan menulis pengalaman di perjalananku pulang kuliah ini.
Teman-teman ku semuanya, apa yang selama ini kita pikirkan bukanlah berarti sebuah kebenaran. Aku ingat temanku pernah berkata menasihatiku, "Kita tidak seharusnya memikirkan sesuatu yang kita ingin pikirkan, tapi kita seharusnya memikirkan kenyataan. Karena apa yang kita inginkan menjadi pikiran kita itu bukanlah hal yang sudah pasti kebenarannya" - Farhan Luthfi. Apa yang Farhan katakan itu benar, seharusnya kita selalu berfikiran positif terhadap apapun yang terjadi kepada kita. Hanya saja kita (lebih-lebih aku) terlalu naif untuk mengakuinya.
Tulisan ini adalah pengalamanku, yang apabila ada manfaatnya silakan teman-teman ambil dan apabila lebih banyak pengaruh negatifnya bisa teman-teman abaikan. Semoga apa yang kutulis ini bisa menyentuh hati orang yang membacanya... Amiiin :)
Maaf karena aku gak punya kamera sehingga aku tidak sempat mengabadikan momen ini.
Semua gambar yang kulampirkan hanyalah ilustrasi.
- Rizki Ramadhan
- Rizki Ramadhan